Inilah Fakta Seputar Helikopter AW101 yang Ditolak Presiden Jokowi |
Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto sudah membentuk tim untuk mengusut tuntas kasus ini. Sampai penyelidikan usai, pesawat digaris polisi dan tak diizinkan terbang.
Polemik mulai muncul setahun lalu saat Presiden Jokowi menolak pembelian helikopter AW101 untuk pesawat kepresidenan. Jokowi belum merasa perlu mengganti Super Puma yang biasa digunakan untuk angkutan VVIP.
Namun tiba-tiba sebuah helikopter AW101 tiba di Lanud Halim Perdanakusuma pekan lalu. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku tak tahu. Begitu juga Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Bola panas soal helikopter buatan Inggris dan Italia ini pun bergulir terus.
Sebenarnya pengadaan helikopter angkut berat AW101 sudah diajukan TNI AU dalam Rencana Strategis TNI AU 2014-2019. Angkatan Udara membutuhkan helikopter angkut berat untuk menunjang kesiapan operasionalnya.
Terakhir TNI AU memiliki helikopter angkut berat adalah saat Presiden Soekarno menggelorakan Dwikora menantang Inggris dan Malaysia tahun 1962. Saat itu Angkatan Udara memiliki helikopter MI-6 buatan Rusia.
Setelah itu pada tahun 1980, TNI AU meminjam helikopter Super Frelon dari Pelita Air Service untuk operasi militer di Timor Timur.
Sudah puluhan tahun TNI AU tak memiliki armada heli angkut berat. Saat ini mereka hanya mengandalkan 12 heli ringan H120 Colibri dan 20 heli medium dari berbagai varian Super Puma.
Nah, rencananya dari sembilan heli AW101 ini, TNI AU akan menggunakan tiga buah untuk heli kepresidenan. Sementara enam sisanya akan digunakan untuk transport militer.
Pengadaan heli kepresidenan pun segera jadi isu politik. Semua pihak ikut berkomentar ini itu.
"Kalau yang muncul pertama adalah pengadaan Heli AW101 untuk transport militer dan angkut berat, tentu tak jadi masalah di masyarakat. Tapi ini yang pertama beredar adalah pengadaan untuk Helikopter Kepresidenan. Langsung gaduh," kata sumber merdeka.com yang mengetahui soal pengadaan heli itu.
Setelah Jokowi menolak, TNI AU tetap melanjutkan pengadaan helikopter tersebut sesuai Renstra 2015. Dalam rencana tahun 2015 lalu, TNI AU menganggarkan USD 169 juta untuk membentuk skadron Angkut Berat.
Helikopter angkut berat dibutuhkan TNI AU untuk misi pengangkutan personel, penanggulangan bencana hingga Search and Rescue. Dibandingkan dengan EC725 yang ditawarkan PT Dirgantara Indonesia, AW101 lebih unggul.
AW101 bisa mengangkut muatan hingga 5,5 ton. Sementara EC725 hanya 4,75 ton. Kelebihan lainnya, AW101 memiliki ramp door, pintu di bagian belakang yang bisa diturunkan, seperti pada pesawat angkut macam C-130 Hercules atau CN-235. Tak ada fitur serupa pada EC725.
Heli berbobot 16 ton ini juga mampu diisi 38 kursi. Jika kabin dikosongkan tanpa kursi, AW101 bisa mengangkut maksimal hingga 55 orang pasukan. Sementara EC725 cuma 29 kursi.
Soal harga AW101 sempat jadi sorotan. Harga per unitnya USD 55 juta, sementara EC725 'hanya' 35 juta. Namun Pabrikan AgustaWesland mengklain harga USD 55 juta itu sudah termasuk biaya pelatihan pilot dan kru, suku cadang untuk 2 tahun dan perangkat pendukung lain. Harga satu helikopternya saja, sama dengan EC725 USD 35 juta.
Helikopter ini pun dinilai prima untuk misi transportasi VVIP. Berbeda dengan Super Puma yang kabarnya sering bikin was-was.
Korupsi pembelian AW101 di India
Isu lain yang beredar soal helikopter AW101 yang dibeli TNI AU merupakan bekas India. Awalnya India memesan 12 unit AW101 pada 2013 lalu. Namun saat itu Kepala Staf Angkatan Udara India terkena kasus korupsi. Baru tiga helikopter yang dikirim. Sisanya ada yang sudah dirakit, namun belum dikirim ke India. Helikopter inilah yang kemudian dibeli TNI AU."Jadi belum pernah dikirim ke India. Helikoper AW101 yang dulu memang bagian dari pesanan untuk India tapi dibatalkan. Waktu itu varian 641. pihak pabrikan kemudian melakukan upgrade ke varian 646 untuk TNI AU," kata sumber tersebut.
Pengadaan helikopter AW101 di India ini membuat geger. Angkatan Udara India menyetujui pembelian 12 unit helikopter AW 101 dan membubuhkan tanda tangannya pada Februari 2010 lalu.
Rencananya heli ini akan digunakan untuk membawa presiden, perdana menteri dan tamu-tamu negara. Semula pembelian ini berlangsung dengan lancar hingga ditangkapnya Giuseppe Orsi, CEO Finmeccanica, perusahaan induk AgustaWestland di Italia.
Penangkapan itu membuat parlemen dan kepolisian membentuk tim investigasi khusus. Dari hasil penyelidikan, ternyata kasus tersebut melibatkan banyak politikus dan pejabat militer India. Mereka disuap agar perusahaan itu memenangi anggaran pembelian 12 unit helikopter sebesar Rp 7 triliun.
Kasus ini bahkan ikut menyeret Perdana Menteri India Sonia Gandhi. Belum lama ini, aparat sempat membekuk mantan Kasau India Shashindra Pal Tyagi.
TNI AU kini masih melakukan investigasi bagaimana sebenarnya pengadaan Helikopter AW101. Hingga saat ini helikopter AW-101 belum digunakan. Dia juga memastikan, belum ada serah terima helikopter tersebut.
"Sampai sekarang pun pesawat itu masih kondisi masih di tempat, di hanggar. Belum diserah terimakan. Dan kami masih harus menyelesaikan beberapa dokumen yang harus diselesaikan," kata Marsekal Hadi Tjahjanto.
Mimpi TNI AU segera memiliki skadron angkut berat pun agaknya sulit terealisasi dalam waktu dekat.
Editor: Wiku
Sumber: merdeka.com
previous article
Newer Post
No comments
Post a Comment