Fahri Hamzah. Foto Viva |
Fahri Hamzah tak mau serius menanggapi pelaporan terhadap dirinya yang dilakukan oleh pendukung Presiden Jokowi tersebut. Dia justru menjelaskan tentang aturan hukum makar itu sendiri.
"Patut disayangkan, banyak nasihat yang masuk kepada presiden tidak memahami peta konstitusi dan UU pascaamandemen ke-4. Hal ini menyebabkan banyak sekali pernyataan yang sebetulnya sudah tidak relevan," kata Fahri Hamzah saat dikonfirmasi, Kamis (10/11).
Dia menjelaskan, pertama soal demonstrasi. Masih digunakan kata ditunggangi dan digerakkan padahal sebetulnya demonstrasi dan penggeraknya legal dan sah. Lalu buat apa susah-susah mencari dalang dan penunggang segala, kata Fahri Hamzah.
Kedua, terkait makar, lanjut dia, banyak yang belum paham bahwa pasal makar itu sebagian besar sudah dibatalkan MK sebagai bentuk penyesuaian dengan UUD 1945 yang baru. Makar dalam terminologi aslinya, kata Fahri, di KUHPidana disebut 'anslaag'.
"Aanslag itu diartikan sebagai gewelddadige aanval yang dalam bahasa Inggris artinya violent attack. Artinya makar itu hanya terkait dengan fierce attack atau segala serangan yang bersifat kuat," kata dia.
Memang di Bab II KHUPidana sebelum reformasi, tambah dia, makar dibahas dari pasal 104 sampai dengan 129. Namun sekarang, sudah banyak yang dihapus dan tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Pasal makar yang tersisa hanya yang terkait violent attack, seperti membocorkan rahasia negara, kerjasama dengan tetara asing dalam massa perang dan lain-lain. Sementara yang terkait dengan kehormatan dan martabat kepala negara sudah berubah menjadi delik aduan," jelas Fahri.
Dia kembali menjelaskan, amandemen 1945 memigrasi segala anasir otoriter yang berpotensi mengekang kebebasan berpikir dan berekspresi masyarakat. Menurut dia, salah tempat di era demokrasi ini kalau masih ada yang berpikir tentang makar.
"Presiden naik dan jatuh diatur jalan keluarnya dalam konstitusi, tak ada yang tidak diatur demi tertib sosial," tutur dia.
Ketiga, soal posisi dan tugas legislatif. Dia menambahkan, yang perlu diketahui oleh kita adalah bahwa tidak ada fungsi pengawasan eksekutif pada legislatif, yang memiliki fungsi pengawasan itu adalah legislatif.
"Fungsi pengawasan ini bisa di kantor DPR ataupun di luar kantor. Dan dalam menjalankan fungsinya tersebut tidak boleh ada yang menghalangi dan atau anggota DPR imun dari tuntutan," kata dia lagi.
"Itulah alasan kenapa legislatif diberi hak imunitas oleh UUD 45. Karena akan mengawasi kekuasan yang besar. Eksekutif bisa saja tidak rela diawasi lalu menggunakan kekuasaan untuk menjegal dan melawan pengawasan. Seharusnya dengan dasar itu anggota DPR harus berani. Jadi ini bukan soal makar atau melawan, tapi soal pengawasan," lanjut dia.
"UUD 1945 kita adalah konstitusi manusiawi yang meletakkan manusia lebih penting dari apapun. Oleh sebab itu, pemerintah Jokowi jangan lagi menggunakan kosa kata yang sudah hilang di era demokrasi ini," tuntas dia.
Sumber: Merdeka.com
Editor: Kay
previous article
Newer Post
No comments
Post a Comment