Demo Ahok. Newst |
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj menyatakan bahwa ranah hukum adalah solusi terbaik untuk menengahi polemik yang terus menggelinjang di ruang publik.
Namun, sejujurnya, tidak mudah bagi pihak Kepolisian untuk melakukan penegakan hukum yang seadil-adilnya karena dua hal. Pertama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan sikap bahwa Ahok dinyatakan telah menghina al-Qur’an dan menghina ulama. Sikap MUI ini terasa ganjil karena, sekali lagi, Ahok tidak pernah dipanggil untuk melakukan klarifikasi. Ahok diadili secara in absentia. Padahal, MUI dapat melakukan klarifikasi (tabayyun) terlebih dahulu sebelum Ahok dinyatakan bersalah.
Kedua, sikap Front Pembela Islam (FPI) yang mengerahkan ribuan massa dengan tuntutan agar Ahok dihukum seberat-beratnya. Sekali lagi, FPI tidak bergerak sendiri, melainkan bergelayut di bawah sikap MUI di atas. Mereka juga merencanakan aksi massa pada 4 November nanti sebagai desakan kepada pihak Kepolisian agar memenjarakan Ahok. Isu yang digelinjangkan: tangkap dan penjarakan penista agama!
Sebenarnya sikap FPI terhadap Ahok bukan hal baru. Semua orang tahu bahwa FPI tidak setuju Ahok menjadi Gubernur DKI. Sejak dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok berkali-kali didemo oleh FPI. Bahkan FPI telah menunjuk gubernur alternatif. Jadi, memahami sikap FPI belakangan ini sangat mudah. Saya haqqul yaqin publik di Tanah Air paham setiap gerakan yang dikomondoi oleh FPI dan kawan-kawannya.
Namun, meski demikian, saya tak pernah berhenti bertanya-tanya, apakah Ahok benar telah menodai agama? Bukankah Ahok sudah meminta maaf secara terbuka? Bukankah proses hukum sedang berlangsung untuk memutuskan apakah Ahok bersalah atau tidak bersalah?
Saya hanya mengingatkan umat Islam agar kita kembali kepada pesan utama di dalam al-Qur’an. Yaitu, pesan yang setiap Jumat dibacakan oleh khatib Jumat sebelum mengakhiri khutbah dan hendak menunaikan salat Jumat. Pesan tersebut berbunyi, “Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kita berlaku adil, berbuat baik, menyambangi saudara terdekat, serta menjauhi kejahatan, kemunkaran, dan kezaliman. Tuhan senantiasa mengingatkan kalian agar kalian selalu ingat” (QS al-Nahl: 90).
Diskursus penodaan agama merupakan diskursus yang masih terus menimbulkan polemik. Tidak hanya di dalam ranah hukum positif, tetapi juga dalam ranah pemikiran keislaman. Apakah negara berhak memutuskan bahwa seseorang atau kelompok telah menodai agama? Bukankah yang berhak menentukan seseorang menodai agama hanya Tuhan, Sang Pencipta Agama?
Sayangnya, kita masih menganut diskursus penodaan agama. Setidaknya ada dua undang-undang yang bisa dijadikan pintu masuk untuk menyeret seseorang atau kelompok sebagai penoda agama: Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Terkait dengan pidato Ahok di Kepulauan Seribu, pasal yang bisa menjerat Ahok adalah Pasal 156a KUHP, yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
Jika kita mencermati pasal tersebut, kita harus menggarisbawahi kata “dengan sengaja” dan “mengeluarkan perasaan atau perbuatan”. Mari kita bedah pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu dengan kepala dingin dan hati jernih.
Pertama, konteks pidato Ahok itu dalam rangka sosialisasi program kerakyatan untuk menunjang pemberdayaan ekonomi warga. Sudah tentu pidato tersebut tidak mempunyai intensi untuk menodai agama, karena forumnya merupakan dialog antara Gubernur DKI dengan warga.
Setelah isu ini bergulir deras, Ahok pun menyampaikan “permohonan maaf” secara tulus. Ia sama sekali tidak sengaja dan tidak bermaksud menodai al-Qur’an atau menghina ulama.
Kedua, ungkapan “jangan mau dibohongi pakai surat al-Maidah ayat 51”. Poin ini memang dapat memimbulkan polemik: Apakah Ahok dapat dikategorikan menodai agama atau sebaliknya?
Saya menghargai pihak-pihak yang memahami ungkapan tersebut sebagai ungkapan yang dapat dikategorikan sebagai penodaan agama. Tetapi saya berupaya memahaminya dari aspek lain dan memberikan konteks yang lebih luas.
Ungkapan Ahok di atas bukan ujug-ujug terlontar di ruang hampa, melainkan berangkat dari fakta di lapangan. Sejak ikut dalam pilkada sebagai calon Bupati Belitung Timur dan terpilih sebagai Bupati Belitung Timur, Ahok mendapatkan pihak-pihak lawan politik yang kerapkali menggunakan surat al-Maidah ayat 51 sebagai bahan kampanye untuk menolak pemimpin non-Muslim.
Begitu pula sejak dilantik sebagai Gubernur DKI hingga menjelang Pilkada DKI 2017, tidak sedikit pihak yang menolak pemimpin non-Muslim dengan menggunakan ayat tersebut. Saat salat Jumat di sebuah masjid besar di kawasan Jakarta Selatan, misalnya, saya mendapatkan seorang khatib menyampaikan khutbah penolakan terhadap pemimpin non-Muslim dengan menggunakan surat al-Maidah ayat 51.
Jadi, kalau mau jujur, makna yang tersirat (mafhum al-mukhalafah) dalam pidatonya di Kepulauan Seribu, Ahok justru ingin mengajak kita untuk menjauhi politisasi al-Qur’an. Ahok ingin mengatakan, tidak masalah jika ada orang-orang tidak memilihnya dalam pilkada nanti, tapi jangan politisasi ayat-ayat suci al-Qur’an.
Jika dibaca dengan saksama, surat al-Maidah ayat 51 sebenarnya tidak berbicara tentang kepemimpinan non-Muslim, melainkan perihal persahabatan antara orang-orang Muslim dan non-Muslim dalam situasi perang. Hampir semua kitab tafsir mengonfirmasi hal tersebut. Bahkan terjemahan Kementerian Agama tentang awliya adalah “teman setia”, bukan “pemimpin”. Terjemahan tersebut sangat sesuai dengan konteks turunnya ayat (sabab al-nuzul).
Surat al-Maidah ayat 51 tidak serta-merta dapat dijadikan sebagai justifikasi untuk menolak pemimpin non-Muslim. Dalam kepemimpinan non-Muslim, saya memilih untuk mengikuti fatwa ulama al-Azhar, Mesir, dalam Lembaga Fatwa Mesir yang menyatakan, tidak ada larangan bagi non-Muslim untuk menjadi gubernur di kawasan mayoritas penduduk Muslim, karena seorang gubernur pada hakikatnya hanya seorang pejabat publik/birokrat yang tunduk pada hukum perundang-undangan. Kekuasaannya tidak bersifat absolut.
Maka, saya berpandangan bahwa ungkapan Ahok tidak tergolong penodaan terhadap agama. Sebagaimana pesan Imam Syafii yang saya pelajari di pesantren, dalam melihat sebuah persoalan saya ingin menggunakan cara pandang yang positif (‘ayn al-ridha) untuk memupuk persahabatan, sembari mengubur cara pandang penuh kebencian (‘ayn al-sukhthi) untuk menghindari perpecahan.
Kembali kepada judul tulisan ini, Benarkah Ahok menodai agama? Saya serahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum untuk melakukan proses hukum yang adil, tanpa ada tekanan dari pihak mana pun.
Oleh: Zuhairi M.
Sumber: Geotimes.co.id
Editor: Mas Mus
previous article
Newer Post
No comments
Post a Comment