Follow Me

Wednesday, October 12, 2016

Takut Karir Politik Ahok Semakin Cemerlang, Para Politisi Ramai-ramai Munculkan Pasal Ini, Ahok Bakalan Dicoret

Presiden Indonesia
Presiden Indonesia
ENEWS.ID - Di awal Oktober ini, Partai Persatuan Pembangunan mengusulkan bunyi Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 dikembalikan menjadi, "Presiden ialah orang Indonesia Asli".

Sebelumnya, melalui Perubahan Ketiga pada tahun 2001, ketentuan itu diubah menjadi, "Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden".

Sulit untuk menafikan, bahwa pemikiran untuk kembali kepada rumusan sebelum perubahan konstitusi itu tidak terkait dengan dinamika politik terkini, khususnya Pemilihan Gubernur di Jakarta. Sejak Gubernur Jokowi berhasil menjadi Presiden, pemikiran bahwa Jakarta adalah tangga politik menuju "Indonesia 1" adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan.

Maka, menjadi normal pemikiran—dan kekhawatiran—bahwa siapapun yang menjadi gubernur terpilih Jakarta dalam Pilgub 2017, berpeluang menjadi salah satu calon presiden di 2019. Jadi, mengembalikan syarat presiden "Indonesia Asli" tentu bisa menghentikan langkah Basuki Tjahaja Purnama, yang keturunan Tionghoa, ataupun Anies Baswedan, yang keturunan Arab, sebagai calon presiden—atau paling tidak calon wakil presiden di tahun 2019.

Padahal, tentang capres 2019 ini, saya mendengar informasi bahwa salah satu kontrak politik yang ditandatangani Anies Baswedan untuk dapat dicalonkan menjadi gubernur adalah janjinya untuk tidak menjadi kontestan dalam Pilpres 2019.

Namun, saya tidak akan mengulas lebih jauh soal Pemilihan Gubernur Jakarta, yang telah penuh dengan hingar-bingar tersebut, yang semoga tidak makin kontraproduktif bagi pendewasaan demokrasi kita. Catatan Kamisan ini akan saya dedikasikan untuk melihat dari sisi hukum tata negara, lebih tepat lagi dari sisi hukum konstitusi, soal syarat calon presiden, khususnya tentang asal-muasal sang calon presiden.

"Indonesia asli" adalah istilah yang digunakan dalam UUD 1945. Istilah itu masih digunakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 terkait kewarganegaraan, yang membedakan WNI menjadi dua, yaitu orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain.

Dalam istilah yang berbeda, bangsa Indonesia asli disebut juga pribumi—atau di Malaysia Bumiputera, sebagai lawan dari non-pribumi. Kata yang terakhir biasanya secara sosiologis lebih disematkan kepada saudara kita yang keturunan etnis Tionghoa. Warga negara keturunan pun karenanya dimaknai sebagai WNI yang orang tuanya berasal dari bangsa lain. Namun, sekali lagi, warga negara keturunan biasanya lebih merujuk pada saudara kita dari etnis Tionghoa.

Namun, istilah pribumi sendiri adalah konsep diskriminatif yang berusaha membagi masyarakat Indonesia berdasarkan ras dan asal-usulnya. Istilah itu muncul di zaman Belanda sebagai terjemahan dari inlander, yaitu ras kelas ketiga berdasarkan Undang-Undang Kolonial Belanda tahun 1854. Sedangkan ras kelas pertama adalah bangsa Eropa dan ras kelas kedua adalah bangsa Timur Asing, yang meliputi Tionghoa, Arab dan India.

Pada akhir abad ke-19 orang pribumi kemudian dikenal dengan istilah Indonesiërs ("Orang Indonesia"). Segregasi demikian sebenarnya hampir sama dengan politik diskriminasi apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan masyarakat dan melarang interaksi berdasarkan ras.

Maka, ketika Perubahan Ketiga UUD 1945 menghilangkan syarat "Indonesia Asli" bagi calon presiden, itu adalah bentuk kemerdekaan hakiki dan kelapangan luar biasa dari kelompok pribumi, guna menghilangkan sekat diskriminasi, dan lebih mewujudkan janji kebhinnekaan yang menghormati keberagaman, termasuk dalam hal beragama. Apalagi, penghilangan kata 'asli' itu sebenarnya penghormatan atas kebhinnekaan Indonesia yang kesekian.

Penghormatan pertama kelompok pribumi-Islam untuk merawat dan merajut Indonesia yang berbhinneka adalah ketika para pendiri bangsa kita pada tanggal 18 Agustus 1945 menyetujui draft UUD 1945 yang disiapkan BPUPKI, tetapi dengan tiga perubahan, yaitu:

1) Piagam Jakarta disahkan sebagai pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan mengubah judulnya, dari 'Mukaddimah', sebuah kata dalam bahasa Arab, menjadi 'Pembukaan';
2) Tujuh kata yang berkaitan dengan syariah Islam dihilangkan dari Pembukaan dan Pasal 29 ayat (1); dan
3) Syarat bahwa calon presiden harus beragama Islam dihapuskan dari Pasal 6.

Keislaman dan KeIndonesiaan kita memang selalu menjadi tantangan dalam berbangsa dan potensi pertentangan dalam bernegara. Jika kita tetap ingin mewujudkan Indonesia ber-Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika, maka sikap founding parents pertama kita di tahun 1945 yang legowo merawat keberagaman, termasuk dalam beragama, terbukti telah melahirkan Indonesia yang merdeka.

Selanjutnya, para founding parents kita yang kedua, melalui rangkaian perubahan UUD 1945 Pertama hingga Keempat pada 1999—2002, telah membawa Indonesia ke alam yang lebih reformis dan demokratis—termasuk dengan menghilangkan syarat Indonesia asli sebagai calon presiden.

Saya berpandangan, jangan lagi ditarik ke belakang prestasi legowo dan lapang dada bagi keIndonesiaan yang telah kita torehkan tersebut. Mengembalikan syarat presiden harus Indonesia asli berpotensi mengganggu kebhinnekaan kita. Terlebih lagi, tidak mudah menarik batas demarkasi, siapakah yang termasuk kriteria Indonesia asli itu?

Di Amerika Serikat, negara yang sering menjadi patokan sistem pemerintahan presidensial, isu tentang asal-muasal dan kewarganegaraan sang calon presiden juga menjadi materi dan masalah konstitusi. Salah satu syarat presiden dalam konstitusi Amerika haruslah "natural born citizen".

Dalam perjalanannya, disepakati bahwa calon presiden harus warga negara yang lahir di tanah Amerika. Meskipun, adapula yang berpandangan siapapun yang merupakan warga negara Amerika, menurut aturan perundangan, di manapun tempat kelahirannya, tetap berhak menjadi calon presiden. Dalam sejarah Amerika hingga kini, presidennya adalah warga negara Amerika baik pada saat Konstitusi 1789 disahkan ataupun sejak kelahirannya. Hingga sekarang ada enam Presiden Amerika Serikat yang salah satu orang tuanya tidak lahir di tanah Amerika, termasuk di dalamnya Presiden Barrack Obama.

Model persyaratan presiden di Amerika itu, termasuk dengan syarat umur minimal 35 tahun dan syarat domisili minimal 14 tahun, adalah model yang tepat dan sudah pula kita praktikkan di tanah air. Menurut saya, Indonesia belum bisa mengikuti model syarat presiden Filipina, yang menerapkan sistem kewarganegaraan ganda, dan menetapkan Grace Poe sebagai calon presidennya meskipun berkewarganegaraan Filipina dan Amerika Serikat.

Poe yang lahir di Filipina, pada tahun 2001 memperoleh kewarganegaraan Amerika, lalu tahun 2010 dia memperoleh kembali kewarganegaraan Filipinanya. Pada April 2016, terkait pencalonannya sebagai Presiden, Mahkamah Agung Filipina menyatakan Poe memenuhi syarat sebagai calon presiden terkait masa tinggal selama 10 tahun di Filipina, dan sama sekali tidak menyoal kewarganegaraan Amerikanya. Meskipun akhirnya tidak terpilih sebagai presiden, Grace Poe dengan kewarganegaraan Amerika dan Filipinanya adalah anggota Senat Filipina sejak tahun 2013.

Kembali ke tanah air, usulan mengembalikan syarat Presiden Indonesia asli menurut saya sebaiknya dipikirkan ulang. Kalaupun akan melakukan perubahan konstitusi maka saran saya yang perlu diubah adalah: sistem saling kontrol-saling imbang dengan menguatkan DPD agar bisa menjadi mitra tanding yang sepadan dengan DPR; memperbaiki sistem rektrutmen BPK yang terlalu dimonopoli DPR; penegasan agenda antikorupsi dengan menjadikan KPK sebagai organ konstitusi; dan memasukkan soal pelestarian lingkungan ke dalam UUD 1945.

Rumusan syarat presiden yang sekarang ada dalam konstitusi kita, tidak perlu lagi diubah dengan mengembalikan ketentuan "Indonesia asli". Mari kita rawat dan rajut terus keIndonesiaan kita, serta tidak merusaknya dengan kepentingan politik sesaat yang dapat merusak keberagaman Indonesia.

Keep on fighting for the better Indonesia. 

Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Visiting Professor pada Melbourne Law School dan
Faculty of Arts, University of Melbourne 

Sumber: Detik.com
previous article
Newer Post
next article
Older Post



Post a Comment