Follow Me

Tuesday, August 25, 2015

Peran Pers dalam Pilkada Serentak

Pilkada Serentak 2015. Image: Radar Jogja

Oleh: Agus Sudibyo

Tahun 2014 sebagai tahun politik telah menunjukkan betapa signifikan peran pers dalam proses suksesi kepemimpinan di Indonesia. Ruang media jadi arena utama bagi kontestan pemilu untuk memperkenalkan diri dan mencoba meraih simpati masyarakat.

Ruang media juga jadi sarana utama bagi seluruh unsur politik untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan saling mengawasi. Dalam konteks yang sama, peran pers dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun ini perlu dibicarakan. Bagaimana pers semestinya berkontribusi dalam perhelatan akbar ini dan hambatan apa yang akan dihadapi?

Pertanyaan ini mendesak untuk dijawab. Pelaksanaan pilkada semakin dekat, sementara kekuatan-kekuatan politik telah menunjukkan gelagat ingin kembali menggunakan pers sebagai instrumen untuk memobilisasi dukungan masyarakat.

Pertama-tama, pers harus berperan dalam menggalakkan pendidikan politik untuk para pemegang hak pilih. Masalah yang perlu diatasi di sini, pada umumnya masyarakat masih memahami partisipasi politik semata- mata urusan coblosan di bilik suara. Menjadi tugas pers untuk terus-menerus mengingatkan bahwa partisipasi politik harus dipahami secara lebih fundamental sebagai keterlibatan sukarela dan bermakna semua orang dalam proses penyelenggaraan kepentingan bersama.

Partisipasi politik selalu mengandaikan tanggung jawab setiap orang terhadap cita-cita bersama untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih baik. Tanggung jawab ini diwujudkan dalam partisipasi aktif warga negara pada proses penyelenggaraan kekuasaan dan pengawasannya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Maka, mengawasi jalannya pelayanan publik di semua lini birokrasi, proses pengambilan kebijakan, dan kinerja para pemimpin formal harus jadi agenda bersama masyarakat.

Pers diharapkan berperan besar dalam proses pendidikan politik warga negara ini karena, dari berbagai segi, negara terlihat tak mampu menjalankannya dengan baik. Persoalannya kemudian, kalangan pers sendiri sejauh ini juga belum memberikan perhatian memadai terhadap masalah pendidikan politik itu. Tidak banyak media yang menempatkan masalah ini sebagai prioritas pemberitaan. Dalam setiap penyelenggaraan pemilu ataupun pilkada, ruang publik media secara umum terlalu terfokus pada pemberitaan dan diskusi tentang popularitas dan elektabilitas para kandidat serta persaingan di antara mereka.

Dua peran utama


Dalam konteks yang sama, perlu ditegaskan bahwa tanggung jawab politik warga negara juga harus tecermin dari pilihan yang diambil di bilik suara. Jika peduli terhadap demokratisasi dan pembangunan di daerahnya untuk lima tahun ke depan, masyarakat tak akan sekadar mencoblos pada pilkada serentak nanti. Masyarakat juga tidak akan memilih pemimpin hanya berdasarkan popularitas, kedekatan suku, agama, ormas atau kekerabatan, juga iming-iming uang. Kualitas partisipasi politik di sini ditentukan sejauh mana masyarakat mampu menanggalkan preferensi pribadi, perasaan suka atau tidak suka, untuk benar-benar memilih pemimpin terbaik atau yang lebih baik dari yang lain.

Pada titik ini, pers punya dua peranan. Pertama, menyediakan kriteria-kriteria yang mudah dipahami awam untuk menilai kelebihan dan kelemahan para kandidat. Kedua, memberikan informasi yang cukup dan valid tentang rekam jejak kandidat.

Tentu saja syarat yang harus dipenuhi di sini adalah netralitas dan independensi. Pers mampu menyajikan rekam jejak kandidat sejauh pers dapat menjaga netralitas dan independensinya. Pers tidak jadi bagian dari tim sukses atau simpatisan. Pers dapat menjaga pagar api: memisahkan urusan pemberitaan dengan urusan iklan dan sponsor.

Tantangan paling berat ada di sini. Pemilu 2014 menunjukkan betapa terangnya keterlibatan banyak wartawan, redaktur, bahkan institusi media dalam proses pemenangan kandidat. Dalam hal sikap partisan media atau wartawan, Pemilu 2014 adalah yang terburuk dalam sejarah pemilu Indonesia pascareformasi.

Lebih dari sekadar mengikuti coblosan, mengawasi jalannya coblosan dan penghitungan suara juga bentuk partisipasi politik yang sangat menentukan. Pers perlu terus-menerus mengingatkan masyarakat agar tidak langsung pulang setelah mengikuti coblosan. Jika ada tanda-tanda kecurangan dalam penghitungan dan rekapitulasi suara, masyarakat harus berani mempersoalkannya. Pers harus terus-menerus memberitakan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada dua fase ini.

Tidak kalah mendesak adalah bagaimana pers mengawasi praktik politik uang. Dalam hal politik uang, Pemilu 2014 juga dianggap sebagai yang paling brutal dalam sejarah pemilu Indonesia. Perlu ditegaskan, Komisi Pemilihan Umum daerah, Badan Pengawas Pemilu daerah, dan Panitia Pemungutan Suara pada pilkada serentak nanti umumnya masih diisi orang-orang yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden lalu. Kita menghadapi para penyelenggara pemilu dengan mentalitas yang kurang lebih sama.

Para wartawan menduduki posisi yang sama strategisnya dengan lembaga dan relawan pemantau pilkada. Jika setiap media mampu memosisikan diri sebagai pemantau pilkada, pers Indonesia adalah jaringan pemantau dengan cakupan yang paling luas.

Pertanyaannya, sejauh mana para wartawan mampu menjadi pemantau yang kompeten dan independen? Kompetensi dilihat dari penguasaan atas aspek-aspek hukum, politik, dan teknis penyelenggaraan pilkada serta pendalaman atas segi-segi profesional dan etika jurnalistik. Independensi diukur dari kemampuan untuk berjarak dari semua kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada. Semoga kali ini pers Indonesia dapat menunjukkan performa yang lebih baik dalam menjaga profesionalisme dan independensinya.

AGUS SUDIBYO, KETUA PROGRAM STUDI AKADEMI TELEVISI INDONESIA
Artikel Ini dimuat di Kompas, 26 Agustus 2015
previous article
Newer Post
next article
Older Post



Post a Comment